Jumat, 16 Januari 2015




Saat ini upaya untuk mewujudkan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 2015--yang memungkinkan arus barang, modal dan jasa antara negara ASEAN tidak ada lagi hambatan--tetap pada jalurnya, namun memang masih menghadapi permasalahan dalam bidang jasa. "Tidak melambat," kata Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi disela mengikuti Pertemuan Menteri-menteri Ekonomi ASEAN (AEMM) ke-45 di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, Rabu. Sebelumnya, dalam pernyataan bersama AEMM, para menteri menyoroti hanya ada kemajuan kecil dalam menerapkan cetak biru MEA. Bayu mengatakan, saat ini pencapaian cetak biru dari total negara-negara ASEAN mencapai sekitar 80 persen, sementara itu Indonesia sudah mencapai 83 persen. "Artinya yang kita alami saat ini sudah 83 persen dari kondisi nanti tahun 2015 saat MEA diterapkan," katanya.

Bayu mengatakan, kondisi aturan tarif dan arus barang saat ini sudah hampir sama dengan jika MEA diterapkan pada 2015. Bahkan untuk industri tekstil dan otomotif, katanya, para pengusaha mengatakan kondisi saat ini tidak akan berbeda jika MEA diterapkan pada 2015 karena aturan tarif dan arus berbeda akan sama saja. Namun, Bayu mengakui masih ada permasalahan di sektor jasa. "Banyak yang perlu dipersiapkan," katanya. Permasalahan dalam sektor jasa antara lain standarisasi, angkutan, jasa profesi, angkutan, dan logistik. Sementara jasa pembiayaan sudah tidak ada masalah. Dalam masalah jasa ini, kata Bayu, memang ada dinamika karena ada perbedaan di antara negara anggot ASEAN. "Ini tantangan bagi ASEAN. Kita berusaha keras selaikan perbedaan," katanya.

Oleh sebab itu, katanya, pelaksanaan MEA tidak akan mundur. Sebelumnya Mendag Gita Wirjawan yang hadir pada hari pertama AEM dan memimpin delegasi Indonesia mengatakan pada AEMM para Menteri Ekonomi ASEAN memastikan adanya upaya untuk medorong fasilitasi perdagangan, termasuk mengurangi hambatan-hambatan perdagangan yang selama ini menjadi kendala bagi pengusaha ASEAN. Ia mengatakan perdagangan barang intra-ASEAN harus terus ditingkatkan agar integrasi ASEAN benar-benar dapat dirasakan manfaatnya oleh pengusaha Indonesia.
Apakah Indonesia siap menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)? Pertanyaan itu selalu muncul meningat tenggatnya tinggal 2 tahun lagi. Jawabannya coba dicari melalui Network Asean Forum yang digelar mulai hari ini hingga Jumat (23/8/2013) di Singapura. Namun Menteri Keuangan Muhammad Chatib Basri sudah punya jawaban untuk menghadapi Asean Economic Community (AEC) itu . Ia bilang Indonesia harus menyiasati ini dengan cerdas. Pemerintah tidak melakukan proteksi tetapi justru mendukung industrinya dengan memberikan insentif fiskal. Misalnya, perusahaan yang melakukan R & D bisa dapat double deduction. Penempatan R & D harus harus ada di Indonesia mengingat pasarnya ada di Tanah Air. Ia memberi contoh soal Balai Latihan Kerja (BLK) di mana mereka yang lulus dari sana harus di-training lagi di perusahaan mengingat alat di BLK tidak cocok dengan perusahaan. Itulah sebabnya Chatib meminta perusahaan yang melakukan training. "Diberikan double deduction, jadi mereka nggak usah di-retrain." Rencana Chatib itu dalam rangkaian mempersiapkan Indonesia tidak gagap menghadapi MEA. Negara lain tentu punya cara sendiri untuk mempersiapkannya.

MEMBENTUK INTEGRASI
Yang jelas, pemerintah dan para pelaku bisnis di Asean terus melakukan komunikasi yang intens. Salah satunya dengan forum yang digelar oleh CIMB ASEAN Research Institute (CARI) di Singapura ini. Forum ini bertujuan untuk membentuk integrasi ekonomi Asean sesuai dengan target MEA pada 31 Desember 2015.Selama 30 tahun terakhir, Asean telah berkembang menjadi pemain utama di arena internasional. Namun, sebagian besar perusahaan belum memberikan rencana sesuai tujuan AEC. "Kurang dari 20% dari mereka yang memiliki rencana untuk AEC 2015." Itulah sebabnya forum ini perlu digelar yang fokus khusus pada mengidentifikasi hambatan dan rintangan yang menghambat perdagangan bebas dari enam sektor diperjuangkan dalam konteks AEC.Keenam sektor tersebut adalah penerbangan, kesehatan, infrastruktur, pasar modal, jasa keuangan dan telekomunikasi.
Hasil dari diskusi ini akan tercermin dalam rekomendasi kebijakan yang akan diajukan ke pemerintah dari 10 negara anggota Asean. Forum ini dihadiri lebih dari 200 delegasi dan peserta dari seluruh dunia termasuk pemimpin bisnis dan pengusaha, pembuat kebijakan, ekonom dan media. Dari Indonesia akan tampil Menteri Pariwisata, Kebudayaan dan Ekonomi Kreatif Mari Pangestu, Patrick Walujo (Northstar Group), Aloke Lohia (Indorama Ventures), Budi Sadikin (Bank Mandiri), Emirsyah Satar (Garuda Indonesia), dan Alexander Rusli (Indosat). Pembicara lainnya adalah dari Malaysia akan tampil Tony Fernandes (Air Asia), Nazir Razak (CIMB), dan Azman Mokhtar dari Khazanah Nasional. Sementara itu, dari Thailand akan tampil Chartsiri Sophonpanich (Bangkok Bank).

BEBAS BARANG
Salah satu pilar utama MEA adalah aliran bebas barang, yaitu pada 2015 perdagangan barang di kawasan Asean dilakukan secara bebas tanpa mengalami hambatan, baik tarif maupun nontarif. MEA menerapkan skema Common Effective Preferential Tariff (CEPT) yang sebelumnya sudah diterapkan saat Asean Free Trade Area (AFTA), yaitu penurunan tarif dilakukan secara bertahap untuk jenis barang tertentu yang dilakukan dalam rentang waktu yang telah disepakati bersama. Adapun liberalisasi sektor jasa, dalam cetak biru MEA 2015 bertujuan menghilangkan hambatan penyediaan jasa oleh pemasok ataupun pendirian perusahaan jasa baru lintas negara di kawasan Asean. Liberalisasi tersebut dilakukan melalui mekanisme perundingan Asean Framework Agreement on Services (AFAS). Bila Indonesia tidak siap, maka aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terampil dan modal, terlihat sebagai ancaman daripada peluang. Berdasarkan data United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada 2011, kualitas SDM Indonesia masih berada di peringkat 121, dari 187 negara. Adapun, Singapura berada di peringkat 18, Brunei Darussalam peringkat 30 dan Filipina berada di peringkat 114.

PENGALAMAN BURUK

Indonesia punya pengalaman buruk terhadap ketidaksiapan dalam menghadapi kerja sama perdagangan bebas, satu contoh dalam kesepakatan perdagangan bebas Asean-China (ACFTA) pada 2003, sehingga muncul tuntutan untuk negosiasi ulang bagi beberapa sektor. Kita sebenarnya tidak perlu khawatir secara berlebihan bahwa pada 2015 nanti Indonesia bakal diserbu produk murah dan tenaga kerja asing dari negara anggota Asean. Penghapusan hambatan tarif pada MEA, berlangsung secara bertahap. Artinya saat ini tarif yang berlaku antarnegara Asean kebanyakan sudah 0%. Demikian pula dengan tenaga kerja. Kesepakatan pada MEA hanya terbatas pada mutual recognition agreement (MRA) untuk beberapa tenaga profesional dan terdidik. Namun, bukan berarti kita tidak harus bersiap diri untuk menyelamatkan pebisnis dari pasar bebas tersebut. Kementerian Perindustrian mengklaim bahwa sebagian besar industri nasional siap bersaing di kancah Asean. Untuk beberapa industri yang masih perlu penguatan daya saing, seperti otomotif, alas kaki, elektronik dan pakaian jadi, pemerintah juga memberikan insentif agar sektor tersebut mampu menghadapi industri sejenis di Asia Tenggara. Namun, dunia usaha sendiri sebagian masih ragu akan kesiapan tersebut. Dalam Network Asean Forum ini para pembicara akan menyampaikan sejauh mana persiapan mereka sehingga hambatan penyediaan jasa oleh pemasok ataupun pendirian perusahaan jasa baru lintas negara di kawasan Asean berjalan mulus.


Analisis Masyarakat Ekonomi  ASEAN (MEA)

Modal tidak mengenal bendera (capital cariers no flag) negara dan tidak mengenal ideologi. Di bidang perdagangan, melahirkan saling ketergantungan yang makin erat sehingga mengarah pada integrasi ekonomi dunia. Inilah sekiranya gambaran umum globalisasi ekonomi yang terbungkus rapi dalam bentuk liberalisasi, kapitalisasi dan neoliberalisasi di bidang ekonomi.
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang di buat dalam Deklarasi Concord II di Bali, Indonesia, pada tanggal 7 Oktober 2003; pada KTT Asean ke-12 pada bulan Januari 2007, para pemimpin negara-negara ASEAN menegaskan komitmen kuat mereka untuk mempercepat komunitas ASEAN pada tahun 2015.
Hal ini menyisakan tanda tanya besar sampai sekarang bagi para pakar dan pemerhati ekonomi, politik, ekologi, dan soial budaya dalam menyikapi komunitas ASEAN secara kritis. Terlebih untuk keberlanjutan pembangunan ekonomi Indonesia, dimana Indonesia merupakan salah satu anggota komunitas tersebut. Secara umum pertanyaan mendasar dan mendalam yang mereka lontarkan adalah bagaimana implikasi ekonomi-politik Indonesia dalam menghadapi MEA, bagaimana dengan pemimpin baru (Jokowi-JK) dalam mengawal MEA, dan bagaimana imbasnya bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Perlu di ketahui bahwa MEA menjadi tujuan dari integrasi ekonomi regional pada tahun 2015. MEA memiliki karakteristik utama sebagai berikut: (a) pasar tunggal dan basis produksi tunggal, (b) kawasan ekonomi yang kompetitif, (c) wilayah pembangunan ekonomi yang adil, dan (d) wilayah sepenuhnya terintegrasi kedalam ekonomi global.
Untuk mencapai karakteristik tersebut maka di perlukan ASEAN Conectivity melalui pembangunan infrastruktur yang menghubungkan antara sumber daya alam industri dan perdagangan yang akan memudahkan investasi internasional untuk berbisnis di kawasan ini.
Menurut saya terkait MEA, kawasan ASEAN memiliki dua potensi besar dalam perdagangan global, yang mana perdagangan global mengatur kapital besar dapat secara bebas masuk ke ranah produksi, distribusi, dan alokasi kawasan MEA. Meskipun kalau kita lihat kerangka kerja MEA adalah regionalisme, tetapi dalam praktiknya kelak adalah globalisme. Dua potensi kawasan ASEAN dalam perdagangan global tersebut yaitu sebagai penyedia bahan mentah (raw material) dan pasar bagi produksi industri negara maju termasuk barang-barang yang diperlukan dalam pembangunan infrastruktur itu sendiri.
Kemudian saya tidak sepakat pada saudara Samsul, yang menyatakan bahwa kedepan seharusnya MEA tidak lagi dipandang dengan perspektif “ancaman” yang akan mematikan produk-produk lokal di daerah-daerah. MEA justru harus dipandang sebagai peluang untuk mengenalkan segala potensi Indonesia dan menjalankan misi perdagangan, pariwisata dan investasi di lingkungan ASEAN. Bagi saya sendiri justru kita harus skeptis terlebih dahulu dengan akan masuknya era MEA. Analisa skeptis saya adalah pasar infrastruktur ASEAN yang sangat besar tampaknya akan menjadi pertarungan negara-negara industri dalam menyalurkan utang dan produk industri mereka yang berkaitan dengan pembangunan infrastruktur.
Bagaimana tidak terancam coba? Suatu yang diharapkan dapat memacu pertumbuhan, perkembangan dan pemberdayaan di kawasan ASEAN terutama dan Indonesia khususnya. Sebelum masuk era MEA saja pada tahun 2015, sudah dari potensi pariwisata kepulauan di Indonesia bagian Barat, pulau Kumbang di kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat di tawarkan untuk di jual secara daring oleh situs luar negeri www.privateislandonline.com senilai 1.880.000 dollar Amerika Serikat atau sekitar Rp. 22 Milliar. (Sumber: Kompas, Edisi 27/08/2014.) Sungguh ironis bukan? Belum lagi nasib perdagangan dan investasi di Indonesia.
Mengacu pada teori dependensia yang dikemukakan oleh Andre Gunder Frank, dia membuat tiga hipotesa; (1) dalam struktur hubungan antara negara-negara metropolis maju dengan negara satelit yang terbelakang, pihak metropolis akan berkembang dengan pesat sedangkan pihak satelit akan tetap dalam posisi keterbelakangan, (2) negara-negara miskin yang sekarang menjadi satelit, perekonomiannya dapat berkembang dan mampu mengembangkan industri yang otonom bila tidak terkait dengan metropolis dari kapitalis dunia, atau kaitannya sangat lemah, dan (3) kawasan-kawasan yang sekarang sangat terbelakang dan berada dalam situasi yang mirip dengan situasi dalam sistem feodal adalah kawasan-kawasan yang pada masa lalu memiliki kaitan yang kuat dengan metropolis dari sistem kapitalis internasional. Kawasan-kawasan ini adalah penghasil ekspor bahan mentah primer yang terlantar akibat adanya hubungan perdagangan internasional.

Hak Dasar Ekonomi dan Kebebasan Kawasan
Hak dasar ekonomi dan kebebasan ASEAN harus diterjemahkan sesuai kebutuhan mendesak kawasan mempersiapkan komunitas ekonomi sebagai proses integral hubungan bertetangga baik tanpa ada intervensi dari luar kawasan ASEAN. Hak-hak itu mencakup alokasi, produksi, distribusi dan konsumsi. Karena pada dasarnya masalah ekonomi adalah masalah kelangkaan (scarcity). Hak dasar ekonomi dan kebebasan kawasan maksudnya adalah negara-negara yang berada dalam kawasan komunitas berhak mengatur rumah tangga komunitas itu sendiri sesuai dengan kesepakatan anggota komunitas, hal ini menjamin terjadinya kesinambungan pembangunan ekonomi kawasan pada umumnya dan Indonesia pada khususnya.
Terkait pemimpin baru dalam menghadapi MEA, Jokowi-JK harus tetap konsisten dengan visi dan misi yang ia bawa pada saat kampanye, harapannya visi-misi yang ia sampaiakan bukanlah omong kosong belaka melainkan dapat di realisasikan terutama dalam menghadapi MEA yang akan datang. Visi dan misi yang ia adopsi dari konsep Trisaktinya Bung Karno bukanlah main-main, yang mana isinya yaitu berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian yang berkebudayaan yang kuat. Jokowi-JK jangan sampai lengah dalam permainan kekuatan-kekuatan raksasa global yang bersembunyi di balik MEA, karena situasi domestik kita masih rapuh.
Menatap pada MEA, maka kita jangan sampai terjebak pada mindset yang dangkal. Justru ketika kita tidak berusaha keluar dari pusaran mindset neoliberalisme, maka yang terjadi adalah kita akan berputar mengelilingi lingkaran neoliberalisme, yang mana cara pikir kapitalis yang eksploitatif dan alienatif akan mengakar kuat dalam pola berfikir kita. Oleh sebab itu keluar dari kerangka berfikir yang kapitalis dengan cara mencari jalan keluar yang solutif-kritis ekonomi-politik adalah cara terbaik yang minimum dalam produktivitas ilmu pengetahuan guna menangkal neoliberalisme yang semakin menggurita di tanah air ini. Mungkin begitu.

Sumber            :
http://www.antaranews.com
http://www.bisnis.com
http://adhityache.blogspot.com/2014/09/analisis-kritis-masyarakat-ekonomi.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar