HUKUM PERJANJIAN KONSENSUALISME
Sistem
Terbuka dan Asas Konsensualisme dalam Hukum Perjanjian
Hukum benda
mempunyai sistem tertutup, sedangkan Hukum Perjanjian menganut sistem terbuka.
Artinya macam-macam hak atas benda adalah terbatas dan peraturan-peraturan yang
mengenai hak-hak atas benda itu bersifat memaksa, sedangkan Hukum Perjanjian
memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan
perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar Undang-Undang ,
ketertiban umum dan kesusilaan.
Pasal-pasal
dari Hukum Perjanjian merupakan apa yang dinamakan hukum pelengkap (optional
law), yang berarti bahwa pasal-pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki
oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian. Mereka diperbolehkan membuat
ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal Hukum Perjanjian
dan diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam
perjanjian-perjanjian yang mereka adakan itu. Apabila pihak-pihak yang membuat
perjanjian itu tidak mengatur sendiri sesuatu soal, maka berarti mengenai soal
tersebut akan tunduk kepada Undang-undang. Karena itu hukum perjanjian disebut
hukum pelengkap, karena fungsinya melengkapi perjanjian-perjanjian yang dibuat
secara tidak lengkap.
Sistem
terbuka, yang mengandung asas kebebasan membuat perjanjian, dalam KUHPer
lazimnya disimpulkan dalam pasal 1338 ayat (1), yang berbunyi demikian:“Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya”. Penekanan pada perkataan semua menyatakan bahwa
masyarakat diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja
(atau tentang apa saja) dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya
seperti suatu UU.
Dalam hukum
perjanjian berlaku asas konsensualisme. Perkataan ini berasal dari perkataan
latin consensus yang berarti sepakat.
Arti asas
konsensualisme adalah :
Pada
dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan
sejak detik tercapainya kesepakatan. Perjanjian itu sudah sah apabila sudah
sepakat mengenai hal-hal yang pokok walaupun belum ada perjanjian tertulisnya
sebagai sesuatu formalitas.
Asas
konsensualisme tersebut lazimnya disimpulkan dari pasal 1320 KUHPer, yang
berbunyi:
Untuk sahnya
suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
- Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
- Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
- Suatu hal tertentu;
- Suatu sebab yang halal”
Karena suatu
perjanjian lahir pada detik tercapainya kesepakatan,maka perjanjian itu lahir
pada detik diterimanya suatu penawaran (offerte). Menurut ajaran yang
lazim dianut sekarang, perjanjian harus dianggap lahir pada saat pihak yang
melakukan penawaran (offerte) menerima jawaban yang termaktub dalam
surat tersebut, sebab detik itulah yang dapat dianggap sebagai detik lahirnya
kesepakatan. Karena perjanjian sudah lahir maka tak dapat lagi ia ditarik
kembali jika tidak seizin pihak lawan.
Pengecualian
terhadap asas konsensualisme yaitu :
Penetapan
formalitas-formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian, atas ancaman
batalnya perjanjian tersebut apabila tidak menuruti bentuk cara yang dimaksud,
misalnya:
- Perjanjian penghibahan, jika mengenai benda tak bergerak harus dilakukan dengan akta notaris.
- Perjanjian perdamaian harus dilakukan secara tertulis, dan lain sebagainya. Perjanjian yang memerlukan formalitas tertentu dinamakan perjanjian formil.
HUKUM KEBEBASAN BERKONTRAK
Pengertian
Asas kebebasan berkontrak
Kontrak
atau contracts (dalam bahasa inggris) dalam pengertian yang lebih luas
sering dinamakan juga dengan istilah perjanjian. Kontrak adalah Peristiwa
di mana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu perbuatan tertentu, biasanya secara tertulis.
Para pihak yang bersepakat mengenai hal-hal yang diperjanjikan, berkewajiabn
untuk menaati dan melaksanakannya, sehingga perjanjian tersebut menimbulkan
hubungan hokum yang disebut perikatan (verbintenis).
Ketentuan Kebebasan Berkontrak dalam KUH Perdata
Dalam KUH Perdata, ketentuan
mengenai asas kebebasan berkontrak dapat dijumpai dalam pasal 1338 (1) KUH
Perdata yang menyatakan bahwa, “semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Menurut
Subekti, pasal tersebut seolah-olah membuat suatu pernyataan (proklamasi) bahwa
kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita
sebagaimana mengikatnya undang-undang. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya
berupa apa saja yang dinamakan “ketertiban umum dan kesusilaan”. Istilah
“semua” di dalamnya terkandung asas partij autonomie, freedom of
contract, beginsel van de contract vrijheid, menyerahkan sepenuhnya
kepada para pihak mengenai isi maupun bentuk perjanjian yang akan mereka buat,
termasuk penuangan ke dalam bentuk kontrak standar.
Menurut Sutan Remi Sjahdeini, asas kebebasan
berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia mencakup hal-hal berikut : pertama:
Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, kedua: Kebebasan
untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian, ketiga:
Kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang akan
dibuatnya, keempat: Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian dan kelima:
Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat
opsional (anvullend, optional).
Namun, kebesan tersebut bukan berarti tanpa batas,
yang memungkinkan terjadinya pemaksaan dan eksploitasi oleh satu pihak terhadap
pihak lainnya, sehingga berakibat pada terjadinya ketidakadilan. Oleh karena
itu, Prof. Agus Yudha Hernoko berpendapat bahwa asas kebebasan berkontrak yang
diderivasikan dari penafsiran atas pasal 1338 tersebut harus dibingkai oleh
pasal-pasal lain dalam satu kerangka sistem hukum kontrak yang bulat dan utuh.
Pasal-pasal tersebut antara lain:
- Pasal 1320 KUHPerdata, mengenai syarat sahnya perjanjian (kontrak)
- Pasal 1335 KUHPerdata, yang melarang dibuatnya kontrak tanpa causa, atau dibuat berdasarkan suatu kausa yang palsu atau terlarang, dengan konskuensi tidaklah mempunyai kekuatan
- Pasal 1337 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.
- Pasal 1338 (3) KUHPerdata, yang menetapkan bahwa kontrak harus dilaksanakan dengan itikad baik.
- Pasal 1339 KUHperdata, menunjuk terikatnya perjanjian kepada sifat, kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Kebiasaan yang dimaksud dalam pasal 1339 KUHPer bukanlah kebiasaan setempat, akan tetapi ketentuan-ketentuan yang dalam kalangan tertentu selalu diperhatikan.
- Pasal 1347 KUHper mengatur mengenai hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya disetujui untuk secara diam-diam dimasukan ke dalam kontrak (bestandig gebruiklijk beding)
Dengan mengaitkan satu sama lain pasal-pasal dalam
KUHPerdata mengenai ketentuan-ketentuan dalam melakukan perjanjian, maka
kebebasan berkontrak tidak hanya dijamin dalam hukum perjanjian, namun pada
saat bersamaan kebebasan tersebut harus dibingkai ketentuan-ketentuan lainnya
sehingga suatu perjanjian dapat berlangsung secara proporsional dan adil.
Ketentuan Kebebasan Berkontrak dalam Hukum Islam
Kebebasan berakad/kontrak (mabda
Hurriyyah at Ta’aqud) diakui dalam hukum Islam. Kebebasan
berakad merupakan prinsip hukum yang menyatakan bahwa setiap orang dapat
membuat akad jenis apapun tanpa terikat pada nama-nama yang telah ditentukan
dalam undang-undang syariah dan memasukan klausul apa saja ke dalam akad yang
dibuatnya itu sesuai dengan kepentingannya sejauh tidak berakibat makan harta
bersama dengan jalan batil. Nas-nas al-Quran dan Sunnah Nabi Saw –sebaagi
otoritas utama sumber hukum Islam—serta kaidah-kaidah hukum Islam menunjukan
bahwa hukum Islam menganut asas kebebasan berakad. Asas kebebasan ini merupakan
konkretisasi labih jauh dari spesifikasi yang lebih tegas lagi terhadap asas
ibahah dalam bermuammalah. Dalam Firman Allah (QS. 5:1) :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الْأَنْعَامِ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ
مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad (perjanjian-perjanjian)……
Ayat ini memerintahkan kaum mu’minin untuk memenuhi
akad-akad. Menurut kaidah ushul fikih (metodologi penemuan hukum Islam),
perintah dalam ayat ini (kata: aufu) menunjukan wajib. Artinya memenuhi akad
itu hukumnya wajib. Dalam ayat ini “akad” disebutkan dalam bentuk jamak yang
diberi kata sandang “al” (al-aqadàal-uqud). Menurut kaidah usul fikih, jamak
yang diberi kata sandang “al” menunjukan makna umum. Dengan demikian, dari ayat
tersebut dapat disimpulkan bahwa orang dapat membuat akad apa saja baik yang
bernama maupun yang tidak bernama dan akad-akad itu wajib dipenuhi.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Hakim
dari sahabat Abu Hurairoh, Rasul bersabda: “orang-orang muslim itu
senantiasa setia kepada syarat-syarat (janji-janji) mereka”. Hadis ini
menunjukan bahwa syarat-syarat atau janji-janji apa saja dapat dibuat dan wajib
dipenuhi. Terhadap hadis ini, al-Kasani (w. 587/1190) memberi penjealsan, bahwa
zahir hadis ini menyatakan wajibnya memenuhi setiap perjanjian selain yang
dikecualikan oleh suatu dalil, karena hadis ini menuntut setiap orang untuk
setia kepada janjinya, dan kesetiaan kepada janjin itu adalah dengan memenuhi
janji tersebut…asasnya ialah bahwa setiap tindakah hukum seseorang terjadi
menurut yang ia kehendaki apabila ia orang yang cakap untuk melakukan tindakan
tersebut, objeknya dapat menerima tindakan dimaksud, dan orang bersangkutan
mempunyai kewenangan dalam tindakan itu.
Di samping itu, ada kaidah hukum Islam yang berbunyi, “pada
asasnya akad itu adalah kesepakatan para pihak dan akibat hukumnya adalah
adanya apa yang mereka tetapkan atas diri mereka melalui janji” Kaidah ini
menunjukan adanya kebebasan berakad karena perjanjian itu dinyatakan sebagai
berdasarkan kata sepakat para pihak dan akibat hukumnya adalah apa yang mereka
tetapkan melalui janji.
Namun, kebebasan membuat akad dalam Islam bukannya
tidak terbatas. Kebebasan tersebut tidak boleh menimbulkan ketidakadilan bagi
pihak lain. Dalam QS.4:29 Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا
أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ
تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ
رَحِيمًا
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan harta sesamamu dengan
jalan batil, kecuali (jika makan harta sesama itu dilakukan) dengan cara
tukar-menukar berdasarkan perizinan timbal balik (kata sepakat) di antara kamu.
Yang dimaksud dengan “mekan harta bersama dengan cara
batil” adalah makan harta orang lain dengan cara yang tidak dibeanrkan dan
tidak sah menurut hukum syari’ah, baik yang dilarang secara langsung di dalam
ans maupun berdasarkan ijtihad atas nas. Secara umum,
dapat dikatakan makan harta dengan jalan batil adalah bertentangan dengan
keteriban umum dan kesusilaan. Hanya saja, ketertiban dan kesusilaan dalam
hukum Islam lebih luas cakupannya, karena mencakup larangan riba, garar dan
syarat peserta akad yang fasid.
Syarat-syarat
didalam asas kebebasan berkontrak
Para pihak dapat mengatur apapun
dalam kontrak tersebut (catch all) sebatas yang tidak dilarang oleh
undang-undang, Yurisprudensi atau kepatutan. Jadi yang dimaksud asas kebebasan
berkontrak ialah suatu asas dimana para pihak bebas membuat kontrak dan
mengatur isi kontrak tersebut sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1. Memenuhi syarat
sebagai kontrak
Agar suatu kontrak oleh hukum dianggap sah sehingga
mengikat kedua belah pihak maka kontrak tersebut haruslah memenuhi standar yang
telah ditentukan.
2. Tidak dilarang oleh
Undang-undang
Tidak
bertentangan dengan ketentuan peraturan perUndang-undangan yang berlaku.
3. Sesuai dengan
kebiasaan yang berlaku
Pasal 1339 KUHPerdata menentukan pula bahwa suatu
kontrak tidak hanya mengikat terhadap isi dari kontrak tersebut, melainkan
mengikat dengan hal-hal yang merupakan kebiasaan
4.
Sepanjang kontrak tersebut dilaksanakan dengan itikad baik.
Menurut Pasal 1338 ayat (3)
KUHPerdata suatu kontrak haruslah dilaksanakan dengan itikad baik. Rumusan dari
Pasal 1338 ayat (3) tersebut mengindikasikan bahwa sebenarnya itikad baik bukan
merupakan syarat sahnya suatu kontrak sebagaimana syarat yang terdapat dalam
Pasal 1320 KUHPerdata. Unsur itikad baik hanya disyaratkan dalam hal
“pelaksanaan” dari suatu kontrak, bukan pada pembuatan suatu kontrak.
Sebab unsur “ itikad baik” dalam hal pembuatan suatu
kontrak sudah dapat dicakup oleh unsur “ klausa yang legal “dari pasal 1320
tersebut. Dengan demikian dapat saja suatu kontrak dibuat secara sah. Dalam
arti memenuhi semua syarat sahnya kontrak (antara lain sesuai dengan Pasal 1320
KUHPerdata). Dan karenanya kontrak tersebut. dibuat dengan itikad baik, tetapi
justru dalam pelaksanaannya misalnya dibelokkan ke arah yang merugikan pihak
ketiga. Dalam hal ini dapat dikatakan
bahwa kontrak tersebut telah dilaksanakan secara bertentangan dengan itikad
baik.
Asas kebebasan berkontrak ini merupakan refleksi dari sistem terbuka (open
system) dari hukum kontrak tersebut.Dasar hukum dari asas ini adalah Pasal 1338
ayat (1) KUHPerdata. Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
HUKUM PACTA SUNT SERVANDA
Pacta Sunt
Servanda (aggrements must be kept) adalah asas hukum yang
menyatakan bahwa “setiap perjanjian menjadi hukum yang mengikat bagi para pihak
yang melakukan perjanjian. Asas ini menjadi dasar hukum Internasional karena
termaktub dalam pasal 26 Konvensi Wina 1969 yang menyatakan bahwa “every
treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them
in good faith” (setiap perjanjian mengikat para pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Pacta sunt
Servanda pertama kali diperkenalkan oleh Grotius yang kemudian mencari dasar pada
sebuah hukum perikatan dengan mengambil pronsip-prinsip hukum alam, khususnya
kodrat. Bahwa seseorang yang mengikatkan diri pada sebuah janji mutlak untuk
memenuhi janji tersebut (promissorum implendorum obligati).
Menurut
Grotius, asas pacta sunt servanda ini timbul dari premis bahwa kontrak
secara alamiah dan sudah menjadi sifatnya mengikat
berdasarkan dua alasan, yaitu :
- Sifat kesederhanaan bahwa seseorang harus berkejasama dan berinteraksi dengan orang lain, yang berarti orang ini harus saling mempercayai yang pada gilirannya memberikan kejujuran dan kesetiaan
- Bahwa setiap individu memiliki hak, dimana yang paling mendasar adalah hak milik yang bisa dialihkan. Apabila seseorang individu memilik hak untuk melepaskan hak miliknya, maka tidak ada alasan untuk mencegah dia melepaskan haknya yang kurang penting khususnya melalui kontrak.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar